Implementasi Perubahan Skema PPN Tergantung Pemulihan Ekonomi

Implementasi Perubahan Skema PPN Tergantung Pemulihan Ekonomi - Artikel ini akan membahas tentang rencana pemerintah untuk mengubah skema pajak pertambahan nilai (PPN) yang saat ini berlaku. Pemerintah berencana untuk menaikkan tarif PPN dari 10% menjadi 12% dan menghapus beberapa pengecualian PPN untuk barang dan jasa tertentu. Namun, implementasi perubahan skema PPN ini tergantung pada kondisi pemulihan ekonomi yang masih belum pasti akibat pandemi Covid-19. Artikel ini akan menjelaskan alasan dan dampak dari rencana perubahan skema PPN, serta memberikan beberapa pertanyaan dan jawaban yang sering ditanyakan oleh masyarakat.
Apa itu Perubahan Skema PPN?
Perubahan skema PPN adalah rencana pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah(UU PPN). Rencana revisi UU PPN ini telah disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI pada bulan Juni 2021.
Rencana perubahan skema PPN ini meliputi dua hal utama, yaitu kenaikan tarif PPN dan penghapusan beberapa pengecualian PPN. Kenaikan tarif PPN dimaksudkan untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak, yang mengalami penurunan akibat pandemi Covid-19. Penghapusan beberapa pengecualian PPN dimaksudkan untuk menyederhanakan dan menyeragamkan sistem perpajakan, serta mengurangi distorsi dan inefisiensi ekonomi.
Berdasarkan rencana pemerintah, tarif PPN akan dinaikkan dari 10% menjadi 12% mulai tahun 2022. Selain itu, beberapa barang dan jasa yang saat ini tidak dikenakan PPN atau dikenakan tarif nol, akan dikenakan tarif normal 12%. Beberapa contoh barang dan jasa yang akan dikenakan tarif normal 12% adalah:
- Beras, gandum, jagung, kedelai, gula, garam, minyak goreng, susu, telur, daging, buah-buahan, sayuran, bumbu dapur, dan makanan pokok lainnya.
- Pendidikan dasar dan menengah, baik negeri maupun swasta.
- Kesehatan dasar dan rujukan, baik pelayanan publik maupun swasta.
- Angkutan umum darat, laut, dan udara.
- Jasa keuangan seperti perbankan, asuransi, pasar modal, dan lembaga keuangan non-bank.
- Jasa sosial seperti panti asuhan, panti jompo, panti rehabilitasi, dan yayasan sosial lainnya.
Pemerintah juga berencana untuk memberikan kompensasi kepada masyarakat berpenghasilan rendah yang terdampak oleh kenaikan tarif PPN dan penghapusan pengecualian PPN. Kompensasi tersebut berupa bantuan sosial tunai atau subsidi langsung kepada kelompok masyarakat yang memenuhi kriteria tertentu.
Pertanyaan yang Sering Ditanyakan
Q: Mengapa pemerintah ingin mengubah skema PPN?
A: Alasan utama pemerintah ingin mengubah skema PPN adalah untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak. Penerimaan pajak merupakan sumber pendapatan negara yang penting untuk membiayai berbagai program pembangunan dan pemulihan ekonomi. Namun, akibat pandemi Covid-19, penerimaan pajak mengalami penurunan yang signifikan. Pada tahun 2020, realisasi penerimaan pajak hanya mencapai Rp 1.198,8 triliun, atau 74,4% dari target yang ditetapkan dalam APBN. Pada tahun 2021, pemerintah menargetkan penerimaan pajak sebesar Rp 1.229,6 triliun, atau naik 2,6% dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, hingga akhir Mei 2021, realisasi penerimaan pajak baru mencapai Rp 444,3 triliun, atau 36,1% dari target.
Selain itu, alasan lain pemerintah ingin mengubah skema PPN adalah untuk menyederhanakan dan menyeragamkan sistem perpajakan, serta mengurangi distorsi dan inefisiensi ekonomi. Saat ini, terdapat banyak pengecualian PPN untuk barang dan jasa tertentu yang dianggap strategis atau bermuatan sosial. Namun, pengecualian PPN ini menyebabkan ketidakadilan dan ketimpangan antara pelaku usaha yang mendapatkan fasilitas PPN dan yang tidak. Pengecualian PPN juga menyebabkan kerugian bagi negara karena mengurangi potensi penerimaan pajak. Selain itu, pengecualian PPN juga dapat menimbulkan distorsi harga dan alokasi sumber daya yang tidak efisien.
Q: Bagaimana dampak dari perubahan skema PPN bagi masyarakat?
A: Dampak dari perubahan skema PPN bagi masyarakat tergantung pada tingkat penghasilan dan pola konsumsi masing-masing individu atau keluarga. Secara umum, perubahan skema PPN akan meningkatkan beban pajak bagi masyarakat karena tarif PPN yang naik dan penghapusan pengecualian PPN untuk barang dan jasa tertentu. Hal ini dapat berdampak pada kenaikan harga barang dan jasa yang dikonsumsi oleh masyarakat, serta menurunkan daya beli dan kesejahteraan masyarakat.
Namun, dampak tersebut tidak akan merata bagi seluruh lapisan masyarakat. Masyarakat berpenghasilan rendah cenderung lebih terdampak karena proporsi pengeluaran untuk barang dan jasa yang dikenakan PPN lebih besar dibandingkan dengan masyarakat berpenghasilan tinggi. Masyarakat berpenghasilan rendah juga cenderung lebih sensitif terhadap perubahan harga barang dan jasa yang dikonsumsi. Oleh karena itu, pemerintah berencana untuk memberikan kompensasi kepada masyarakat berpenghasilan rendah yang terdampak oleh perubahan skema PPN. Kompensasi tersebut berupa bantuan sosial tunai atau subsidi langsung kepada kelompok masyarakat yang memenuhi kriteria tertentu.
Q: Kapan perubahan skema PPN akan diterapkan?
A: Perubahan skema PPN akan diterapkan setelah revisi UU PPN disahkan oleh DPR RI dan ditandatangani oleh Presiden RI. Proses revisi UU PPN masih berlangsung di DPR RI dan belum ada kepastian kapan akan selesai. Namun, pemerintah berharap revisi UU PPN dapat selesai pada tahun 2021 sehingga dapat diterapkan mulai tahun 2022.
Namun demikian,implementasi perubahan skema PPN juga tergantung pada kondisi pemulihan ekonomi yang masih belum pasti akibat pandemi Covid-19. Pemerintah akan mempertimbangkan berbagai faktor ekonomi dan sosial sebelum mengambil keputusan akhir tentang perubahan skema PPN. Jika kondisi ekonomi belum membaik atau bahkan...menurun, pemerintah dapat menunda atau mengubah rencana perubahan skema PPN. Pemerintah juga akan memastikan bahwa perubahan skema PPN tidak akan mengganggu stabilitas makroekonomi dan inflasi.
Q: Apa saja barang dan jasa yang tetap tidak dikenakan PPN atau dikenakan tarif nol?
A: Meskipun pemerintah berencana untuk menghapus beberapa pengecualian PPN, masih ada beberapa barang dan jasa yang tetap tidak dikenakan PPN atau dikenakan tarif nol. Beberapa contoh barang dan jasa yang tetap tidak dikenakan PPN atau dikenakan tarif nol adalah:
- Barang-barang yang dihasilkan oleh sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, dan pertambangan yang belum mengalami proses pengolahan lebih lanjut.
- Barang-barang yang diekspor ke luar negeri atau dikirim ke Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), Kawasan Perdagangan Bebas (KPB), atau Kawasan Berikat (KB).
- Jasa-jasa yang diekspor ke luar negeri atau diserahkan kepada subjek pajak di dalam negeri yang berada di KEK, KPB, atau KB.
- Jasa-jasa yang diserahkan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, atau lembaga negara lainnya dalam rangka pelaksanaan tugas pemerintahan yang tidak bersifat komersial.
- Jasa-jasa yang diserahkan oleh lembaga pendidikan tinggi negeri atau swasta yang terakreditasi.
- Jasa-jasa yang diserahkan oleh lembaga penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
- Jasa-jasa yang diserahkan oleh lembaga keagamaan atau organisasi kemasyarakatan yang tidak bertujuan mencari keuntungan.
Q: Bagaimana cara menghitung PPN yang harus dibayar?
A: Cara menghitung PPN yang harus dibayar adalah dengan mengalikan dasar pengenaan pajak(DPP) dengan tarif PPN. DPP adalah nilai jual barang atau jasa yang dikenakan PPN. Tarif PPN adalah persentase pajak yang dikenakan atas DPP. Tarif PPN normal adalah 12%, sedangkan tarif PPN nol adalah 0%.
Contoh: Seorang pedagang menjual sepatu seharga Rp 500.000 per pasang. Sepatu tersebut termasuk barang yang dikenakan tarif normal 12%. Maka, DPP sepatu tersebut adalah Rp 500.000 dan PPN yang harus dibayar adalah Rp 500.000 x 12%= Rp 60.000. Jadi, harga jual sepatu tersebut sudah termasuk PPN adalah Rp 560.000.
Q: Bagaimana cara melaporkan dan membayar PPN?
A: Cara melaporkan dan membayar PPN adalah dengan menggunakan sistem elektronik pajak(e-filing) melalui situs resmi Direktorat Jenderal Pajak(DJP) www.pajak.go.id. Setiap subjek pajak yang melakukan transaksi barang atau jasa yang dikenakan PPN wajib membuat faktur pajak elektronik(e-faktur) sebagai bukti transaksi dan pelaporan pajak. E-faktur harus dibuat paling lambat pada saat penyerahan barang atau jasa kepada pembeli atau penerima jasa. E-faktur harus mencantumkan identitas penjual atau pemberi jasa, pembeli atau penerima jasa, jenis dan jumlah barang atau jasa, harga satuan dan total harga, DPP, tarif PPN, dan jumlah PPN.
Setiap subjek pajak wajib menyampaikan surat pemberitahuan(SPT) masa PPN secara elektronik melalui e-filing setiap bulan. SPT masa PPN adalah laporan pajak yang berisi rincian transaksi barang atau jasa yang dikenakan PPN, baik yang dilakukan sendiri maupun yang dilakukan oleh pihak lain atas namanya, serta jumlah PPN yang terutang atau yang dapat dikreditkan. SPT masa PPN harus disampaikan paling lambat pada tanggal 20 bulan berikutnya. Contoh: SPT masa PPN untuk bulan Januari 2022 harus disampaikan paling lambat pada tanggal 20 Februari 2022.
Setiap subjek pajak wajib membayar PPN yang terutang secara elektronik melalui bank persepsi yang ditunjuk oleh DJP. PPN yang terutang adalah selisih antara PPN keluaran dan PPN masukan. PPN keluaran adalah PPN yang dikenakan atas penyerahan barang atau jasa yang dilakukan oleh subjek pajak. PPN masukan adalah PPN yang dibayar atau terutang atas pembelian atau penerimaan barang atau jasa yang digunakan untuk keperluan usaha subjek pajak. Pembayaran PPN yang terutang harus dilakukan paling lambat pada tanggal 25 bulan berikutnya. Contoh: Pembayaran PPN yang terutang untuk bulan Januari 2022 harus dilakukan paling lambat pada tanggal 25 Februari 2022.
Kesimpulan
Perubahan skema PPN adalah rencana pemerintah untuk merevisi UU PPN yang saat ini berlaku. Rencana perubahan skema PPN ini meliputi kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 12% dan penghapusan beberapa pengecualian PPN untuk barang dan jasa tertentu. Tujuan dari perubahan skema PPN ini adalah untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak, menyederhanakan dan menyeragamkan sistem perpajakan, serta mengurangi distorsi dan inefisiensi ekonomi.
Perubahan skema PPN ini akan berdampak pada kenaikan beban pajak bagi masyarakat karena tarif PPN yang naik dan penghapusan pengecualian PPN untuk barang dan jasa tertentu. Hal ini dapat berdampak pada kenaikan harga barang dan jasa yang dikonsumsi oleh masyarakat, serta menurunkan daya beli dan kesejahteraan masyarakat. Namun, dampak tersebut tidak akan merata bagi seluruh lapisan masyarakat. Masyarakat berpenghasilan rendah cenderung lebih terdampak karena proporsi pengeluaran untuk barang dan jasa yang dikenakan PPN lebih besar dibandingkan dengan masyarakat berpenghasilan tinggi. Oleh karena itu, pemerintah berencana untuk memberikan kompensasi kepada masyarakat berpenghasilan rendah yang terdampak oleh perubahan skema PPN. Kompensasi tersebut berupa bantuan sosial tunai atau subsidi langsung kepada kelompok masyarakat yang memenuhi kriteria tertentu.
Perubahan skema PPN ini akan diterapkan setelah revisi UU PPN disahkan oleh DPR RI dan ditandatangani oleh Presiden RI. Proses revisi UU PPN masih berlangsung di DPR RI dan belum ada kepastian kapan akan selesai. Namun, pemerintah berharap revisi UU PPN dapat selesai pada tahun 2021 sehingga dapat diterapkan mulai tahun 2022. Namun demikian, implementasi perubahan skema PPN juga tergantung pada kondisi pemulihan ekonomi yang masih belum pasti akibat pandemi Covid-19. Pemerintah akan mempertimbangkan berbagai faktor ekonomi dan sosial sebelum mengambil keputusan akhir tentang perubahan skema PPN. Jika kondisi ekonomi belum membaik...atau bahkan menurun, pemerintah dapat menunda atau mengubah rencana perubahan skema PPN. Pemerintah juga akan memastikan bahwa perubahan skema PPN tidak akan mengganggu stabilitas makroekonomi dan inflasi. Demikianlah artikel tentang implementasi perubahan skema PPN tergantung pemulihan ekonomi. Semoga artikel ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat dan menambah wawasan Anda. Jika Anda memiliki pertanyaan, saran, atau kritik, silakan tulis di kolom komentar di bawah ini. Terima kasih telah membaca artikel ini.